Jengkol, salah satu makanan khas Asia Tenggara, terutama di Indonesia, memang selalu mengundang pro dan kontra. Baunya yang menyengat membuat sebagian orang enggan mendekat, sementara lainnya justru tergila-gila pada cita rasa unik yang ditawarkan. Dikenal dengan nama ilmiah Archidendron pauciflorum, jengkol bukan sekadar makanan, melainkan bagian dari identitas kuliner Nusantara yang penuh cerita.
Aroma yang Sulit Dilupakan
Salah satu alasan utama jengkol dianggap “kontroversial” adalah karena aromanya yang kuat. Ketika dimasak, apalagi jika direbus tanpa teknik khusus, baunya bisa memenuhi satu rumah. Bahkan, setelah dimakan, jengkol bisa meninggalkan bau yang bertahan lama di napas dan urin. Hal ini disebabkan oleh senyawa belerang yang terkandung dalam bijinya, mirip dengan durian atau petai, namun lebih pekat dan tajam.
Namun, bagi para penggemarnya, bau jengkol justru menjadi daya tarik tersendiri. Aroma tersebut dianggap sebagai “pembuka selera” dan pertanda bahwa sajian akan lezat.
Rasa yang Menggoda Lidah
Di balik baunya yang menyengat, jengkol menyimpan rasa legit dan raja zeus tekstur empuk jika dimasak dengan benar. Jengkol biasanya dimasak menjadi semur, balado, atau rendang. Proses perebusan berulang sering kali digunakan untuk mengurangi baunya. Ada juga yang merendamnya dalam air selama semalam untuk menetralisir senyawa penyebab aroma.
Rasa jengkol yang khas – sedikit pahit, gurih, dan bertekstur creamy – sangat cocok dipadukan dengan bumbu rempah-rempah Indonesia. Itulah mengapa banyak pecinta kuliner yang rela “berkorban aroma” demi menikmati sensasi yang ditawarkan jengkol.
Nilai Gizi dan Manfaat Kesehatan
Meskipun sering dipandang sebelah mata, jengkol sebenarnya mengandung banyak nutrisi. Di dalamnya terdapat protein nabati, zat besi, fosfor, vitamin A, B1, dan C. Jengkol juga diketahui mengandung senyawa antioksidan yang dapat membantu menangkal radikal bebas.
Namun, konsumsi jengkol dalam jumlah berlebihan dapat menyebabkan gangguan pada ginjal karena kandungan asam jengkolat yang bisa memicu terbentuknya kristal di saluran kemih. Oleh karena itu, penting untuk tidak mengonsumsi jengkol secara berlebihan dan selalu diolah dengan benar.
Jengkol dalam Budaya Populer
Menariknya, jengkol juga telah menjadi bagian dari budaya populer di Indonesia. Dalam banyak film lawas dan lagu-lagu daerah, jengkol sering disebut sebagai makanan rakyat yang kuat, identik dengan keperkasaan atau kehidupan keras di perkampungan kota. Bahkan, istilah “jagoan jengkol” muncul sebagai julukan bagi karakter preman bersahaja dalam film-film Betawi.
Hal ini menunjukkan bahwa jengkol tidak hanya dikenal karena baunya, tetapi juga memiliki tempat khusus dalam ingatan dan kehidupan masyarakat Indonesia.
Penerimaan Global yang Masih Terbatas
Meski populer di Indonesia dan sebagian wilayah Malaysia serta Thailand, jengkol belum banyak diterima di pasar internasional. Salah satu hambatan utama tentu saja bau menyengat yang dianggap mengganggu. Bahkan, beberapa maskapai penerbangan melarang membawa jengkol dalam kabin karena aromanya yang menyebar.
Namun demikian, seiring berkembangnya tren kuliner eksotis dan unik, jengkol mulai menarik perhatian para petualang rasa dari berbagai negara. Ada chef internasional yang mencoba mengolah jengkol menjadi masakan fusion, walau jumlahnya masih sedikit.
BACA JUGA: Kulit Babi Panggang: Makanan ‘Haram’ yang Terselubung